26 November 2008

Kesulitan Penjual Ubi Cilembu


Tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita semua mendengar nama ubi cilembu. Nama jenis kuliner ini dapat kita jumpai di Puncak, Jawa Barat, dimana sudah menjadi ciri khas daerah puncak, yang juga dikenal sebagai daerah wisata pegunungan. Rasanya sangat manis sekali, oleh karena itu orang sering menyebutnya ubi madu. Harganya pun sangat terjangkau sekitar Rp 5.000,00 – Rr 7.000,00/Kg, namun itu dulu, saat ini harganya sudah naik menjadi Rp 13.000,00/Kg. Hal ini membuat Saya ingin bertanya pada penjual ubi cilembu tersebut, mengapa harganya bisa naik samapi 80%. Oleh karena itu saat membeli ubi cilembu di Puncak, Jawa Barat 14 November 2008, Saya mengadakan wawancara singkat dengan penjualnya yaitu Bapak Iswanto. Menurut beliau, saat ini semua para penjual ubi cilembu atau ubi madu mengeluh kesulitan dalam berjualan. Hal ini disebabkan karena baku untuk memproduksi ubi cilembu sangat mahal, yaitu minyak tanah yang digunakan untuk memanggang ubi cilembu. Sekarang harga minyak tanah di Puncak, Jawa Barat mencapai harga Rp 8.000,00. Sehingga bila mereka tidak menjual ubi seharga Rp 13.000,00; mereka tidak bisa mendapatkan untung. Untuk memanggang 10-12kg ubi, Pak Iswanto memerlukan sekitar 5 liter minyak tanah. Saat ditanya mengapa tidak beralih ke gas, Pak Iswanto menjawab, “ Kalau pakai gas takut meledak karena dipakai terlalu lama dan juga plastik yang ada didalam selang gasnya bisa cepat meleleh. Sehingga harus diganti dan berat biayanya bila harus terus diganti.” Pak Iswanto hanya bisa berharap harga minyak tanah turun sehingga dalam berjualan ubi cilembu, ia tidak mengalami kesulitan seperti ini. Tingginya harga minyak tanah juga membuat sebagian para penjual ubi cilembu di daerah Puncak, Jawa Barat berhenti memproduksi ubi cilembu. Mereka lebih memilih menunggu turunnya harga minyak tanah daripada memproduksi ubi dengan harga minyak yang sangat mahal. Oleh karena itu mereka sangat berharap sekali harga minyak tanah segera turun ke harga normalnya. Mengingat mereka tidak bisa menunggu terlalu lama karena berjualan ubi adalah mata pencaharian utama mereka.
(Jessica.W)

Hasil Dari Pertambangan Timah



Harga timah yang sangat melambung tinggi membuat para penambang berlomba lomba untuk menjadi penambang timah. Menurut Price Waterhouse Coopers (PWC), Indonesia adalah negara penghasil timah no 1 di dunia. Di Indonesia sendiri daerah yang menjadi penghasil timah penghasil timah adalah kepulauan bangka dimana belum lama ini kepualuan tersebut sudah diresmikan menjadikan provinsi baru yaitu propinsi Bangka Belitung. Di kepulauan ini timah merupakan mata pencaharian utama, karena hampir setipa orang bisa menggali timah sendiri, mereka bisa menggali timah di pekarangan rumah mereka, bayangkan sangat mudah untuk mendapatkan timah di bangka. Bertambang timah memang sangat menggiurkan, mengingat untung yang diperoleh sangat tinggi karena harga jual timah sendiri sangat tinggi. Menurut Kuala Lumpur Tin Market (KLTM) harga timah pernah mencapai puncaknya yaitu pada Mei 2008 sekitar 24.000 USD/TONNES. Namun saat ini harga timah anjlok seiring dengan krisis global yang melanda dunia, harga timah kini menurut KLTM berkisar antara 13.000 – 15.000 USD/TONNES.

Berkembanganya pertambangan timah yang sangat baik tidak beriringan dengan sumber daya alamnya. Karena sangat gampangnya akses untuk menambang timah, para penambang melupakan kewajiban mereka untuk melestarikan alam. Hal ini terbukti dari keadaan alam di pulau bangka yang sangat buruk seperti yang dapat anda semua lihat pada foto diatas, Saya mengambil foto tersebut dari dalam pesawat saat menuju ke pulau bangka. Karena untuk menggali timah, mereka harus menebang banyak pohon setelah itu barulah mereka bisa mengeruk timah. Para penambang timah liar biasanya tidak menutup kembali galian timah tersebut sehingga bekas galian timah tersebut bila dilihat dari udara seperti membentuk kawah kawah kecil. Biasanya yang melakukan hal ini adalah penambang timah liar yang memiliki modal cukup besar atau bisa dikatakan sebagai penambang timha kelas kakap. Mereka tidak menutup kembali bekas galian timah tersebut disebabkan faktor uang. Karena untuk menggali timah sendiri, mereka memerlukan alat pengeruk tanah yang biaya sewanya sangat mahal, biasanya biaya sewa alat tersebut dikenakan perhari. Harga sewa yang sangat mahal tersebut membuat mereka tidak mau menutup kembali bakas galian tersebut karena akan menambah beban sewa saja. Tentunya hal ini menjadi sangat ironis mengingat keuntungan yang didapatkan sangat tinggi menyebabakan dampak buruk bagi alam yang sangat tinggi pula. Hal ini sangat memprihatinkan sekali dan bila dibiarkan akan sangat membahayakan serta dapat menimbulkan bencana alam. Hal ini juga sudah mendapat sorotan dari dunia khusunya PBB, tetapi pemerintah Indonesia sendiri seakan tidak perduli terhadap bekas galian timah tersebut. Seharusnya mereka mengambil tindakan hukum bagi siapa yang melanggar aturan pertambangan tersebut. Aturan pertambangan sendiri sudah termuat dalam UU NO.11 TAHUN 1967 “Tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan”, dalam UU ini juga diatur tidak pidana terhadap pelanggran pertambangan. Pada akhirnya lama kelamaan bila hal ini terus berlangsung tanpa tanggapan dari pemerintah, dampak yang sangat buruk akan terjadi. Yaitu memungkinkannya sedikit demi sedikit daerah Pulau Bangka tenggelam seperti yang diperkirakan oleh PBB.

Sumber:

http://www.kltm.com.my/daily.htm

http://www.pwc.com/

(Jessica.W)